RSS

Jumat, 25 Desember 2009

His Eye on the sparrow

Jumat, 20 November 2009

Belajar mendengarkan

Anda pasti tahu bagaimana rasanya menerima telepon di tengah malam. Tapi, malam itu semuanya terasa berbeda. Aku terlonjak dari tidurku ketika telepon di samping tempat tidur berdering-dering. Aku berusaha melihat jam beker dalam gelap. Cahaya illuminasi dari jam itu menunjukkan tepat tengah malam. Dengan panik aku segera mengangkat gagang telepon.


"Hallo?" dadaku berdegup-degup kencang. Aku memegang gagang telepon itu erat-erat. Kini suamiku terbangun dan menatap wajahku lekat-lekat.

"Mama?" terdengar suara di seberang sana.

Aku masih bisa mendengar bisikannya di tengah-tengah dengung telepon. Pikiranku langsung tertuju pada anak gadisku. Ketika suara itu semakin jelas, aku meraih dan menarik-narik pergelangan tangan suamiku.

"Mama, aku tahu ini sudah larut malam. Tapi jangan... jangan berkata apa-apa dahulu sampai aku selesai bicara. Dan, sebelum mama menanyai aku macam-macam, ya aku mengaku ma. Malam ini aku mabuk. Beberapa hari ini aku lari dari rumah, dan..."

Aku tercekat. Nafasku tersenggal-senggal. Aku lepaskan cengkeraman pada suamiku dan menekan kepalaku keras-keras. Kantuk masih mengaburkan pikiranku. Dan, aku berusaha agar tidak panik. Ada sesuatu yang tidak beres.

"...Dan aku takut sekali. Yang ada dalam pikiranku bagaimana aku telah melukai hati mama. Aku tak mau mati di sini. Aku ingin pulang. Aku tahu tindakanku lari dari rumah adalah salah. Aku tahu mama benar-benar cemas dan sedih. Sebenarnya aku bermaksud menelepon mama beberapa hari yang lalu, tapi aku takut... takut..."

Ia menangis tersedan-sedan. Sengguknya benar-benar membuat hatiku iba. Terbayang aku akan wajah anak gadisku. Pikiranku mulai jernih, "Begini..."

"Jangan ma, jangan bicara apa-apa. Biarkan aku selesai bicara." ia meminta. Ia tampak putus asa.

Aku menahan diri dan berpikir apa yang harus aku katakan. Sebelum aku menemukan kata-kata yang tepat, ia melanjutkan, "Aku hamil ma. Aku tahu tak semestinya aku mabuk sekarang,tapi aku takut. Aku sungguh-sungguh takut!"

Tangis itu memecah lagi. Aku menggigit bibirku dan merasakan pelupuk mataku mulai basah. Aku melihat pada suamiku yang bertanya perlahan, "Siapa itu?"

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dan ketika aku tidak menjawab pertanyaannya, ia meloncat meninggalkan kamar dan segera kembali sambil membawa telepon portable. Ia mengangkat telepon portable yang tersambung pararel dengan teleponku. Terdengar bunyi klik.

Lalu suara tangis suara di seberang sana terhenti dan bertanya, "Mama, apakah mama masih ada di sana? Jangan tutup teleponnya ma. Aku benar-benar membutuhkan mama sekarang. Aku merasa kesepian."

Aku menggenggam erat gagang telepon dan menatap suamiku, meminta pertimbangannya. "Mama masih ada di sini. Mama tidak akan menutup telepon," kataku.

"Semestinya aku sudah bilang pada mama. Tapi bila kita bicara, mama hanya menyuruhku mendengarkan nasehat mama. Selama ini mamalah yang selalu berbicara. Sebenarnya aku ingin bicara pada mama, tetapi mama tak mau mendengarkan. Mama tak pernah mau mendengarkan perasaanku. Mungkin mama anggap perasaanku tidaklah penting. Atau mungkin mama pikir mama punya semua jawaban atas persoalanku. Tapi terkadang aku tak membutuhkan nasehat mama. Aku hanya ingin mama mau mendengarkan aku."

Aku menelan ludahku yang tercekat di kerongkongan. Pandanganku tertuju pada pamflet "Bagaimana Berbicara Pada Anak Anda" yang tergeletak di sisi tempat tidurku.

"Mama mendengarkanmu," aku berbisik.

"Tahukah mama, sekarang aku mulai cemas memikirkan bayi yang ada di perutku dan bagaimana aku bisa merawatnya. Aku ingin pulang. Aku sudah panggil taxi. Aku mau pulang sekarang."

"Itu baik sayang," kataku sambil menghembuskan nafas yang meringankan dadaku. Suamiku duduk mendekat padaku. Ia meremas jemariku dengan jemarinya.

"Tapi ma, sebenarnya aku bermaksud pulang dengan menyetir sendiri mobil sendiri."

"Jangan," cegahku. Ototku mengencang dan aku mengeratkan genggaman tangan suamiku. "Jangan. Tunggu sampai taxinya datang. Jangan tutup telepon ini sampai taxi itu datang."

"Aku hanya ingin pulang ke rumah, mama."

"Mama tahu. Tapi, tunggulah sampai taxi datang. Lakukan itu untuk mamamu."

Lalu aku mendengar senyap di sana. Ketika aku tak mendengar suaranya, aku gigit bibir dan memejamkan mata. Bagaimana pun aku harus mencegahnya mengemudikan mobil itu sendiri.

"Nah, itu taxinya datang."

Lalu aku dengar suara taxi berderum di sana. Hatiku terasa lega.

"Aku pulang ma," katanya untuk terakhir kali. Lalu ia tutup telepon itu. Air mata meleleh dari mataku. Aku berjalan keluar menuju kamar anak gadisku yang berusia 16 tahun. Suamiku menyusul dan memelukku dari belakang. Dagunya ditaruh di atas kepalaku.

Aku menghapus airmata dari pipiku. "Kita harus belajar mendengarkan," kataku pada suamiku.

Ia terdiam sejenak, dan bertanya, "Kau pikir, apakah gadis itu sadar kalau ia telah menelepon nomor yang salah?"

Aku melihat gadisku sedang tertidur nyenyak. Aku berkata pada suamiku, "Mungkin itu tadi bukan nomor yang salah."

"Ma? Pa? Apa yang terjadi?," terdengar gadisku menggeliat dari balik selimutnya.

Aku mendekati gadisku yang kini terduduk dalam gelap, "Kami baru saja belajar," jawabku.

"Belajar apa?" tanyanya. Lalu ia kembali berbaring dan matanya terpejam lagi.

"Mendengarkan," bisikku sambil mengusap pipinya.

Gratis

Saking berangnya pada ibunya yang seringkali menyuruhnya melakukan ini dan itu, pada suatu sore, seorang anak menghampiri ibunya di dapur yang sedang menyiapkan makan malam, dan ia menyerahkan selembar kertas yang selesai ditulisinya.

Setelah ibunya mengeringkan tangannya dengan celemek, ia membacanya dan inilah tulisan si anak:

= Untuk memotong rumput minggu ini Rp. 7.500,00
= Untuk membersihkan kamar minggu ini Rp. 5.000,00
= Untuk pergi ke toko menggantikan mama Rp. 10.000,00
= Untuk menjaga adik waktu mama belanja Rp. 15.000,00
= Untuk membuang sampah setiap hari Rp. 5.000,00
= Untuk raport yang bagus Rp. 25.000,00
= Untuk membersihkan dan menyapu halaman Rp. 12.500,00
------------------------------------------------------------------------
Jumlah hutang Rp. 80.000,00

Si ibu memandang anaknya yang berdiri di situ dengan penuh harap, dan berbagai kenangan terlintas dalam pikiran ibu itu.

Kemudian ia mengambil pulpen, membalikkan kertasnya, dan menulis:

. Untuk sembilan bulan ketika mama mengandung kamu selama kamu tumbuh dalam perut mama, GRATIS.
. Untuk semua malam ketika mama menemani kamu, mengobati kamu, dan mendoakan kamu,GRATIS.
. Untuk semua saat susah, dan semua air mata yang kamu sebabkan selama ini,GRATIS.
. Untuk semua malam yang dipenuhi rasa takut dan untuk rasa cemas di waktu yang akan datang, GRATIS.
. Untuk mainan, makanan, baju, dan juga menyeka hidungmu, GRATIS.

Dan kalau kamu menjumlahkan semuanya, harga cinta sejati itu GRATIS.

Setelah selesai membaca apa yang ditulis ibunya, anak itu menatap wajah ibunya dan berkata:
'Ma, aku sayang sekali padamu'.

Kemudian sang ibu mengambil pulpen dan menulis dengan huruf besar-besar: "LUNAS"


Selasa, 01 September 2009

Jika Kau Mencintaiku

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifat apa adanya yang alami dan menyukai perasaan hangat yang muncul ketika saya bersandar di-dadanya yang bidang. 3 tahun masa pacaran dan 5 tahun masa-masa pernikahan hingga saat ini. Sekarang saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah dengan semua ini, alasan-alasan saya mencintainya pada waktu dulu, telah berubah menjadi sesuatu yang tak menakjubkan lagi.

Saya seorang wanita yang sentimentil, benar-benar sensitif dan berperasaan halus, saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak kecil yang menginginkan permen. Sering saya berfantasi dan membayangkan suami saya bisa menjadi seperti pria-pria romantis di­ film-film, bahkan membanding-bandingkannya dengan mantan pacar-pacar saya yang terdahulu. Namun suami saya bertolak belakang, rasa sensitifnya kurang, ketidakbecusannya menciptakan suasana romantis dalam pernikahan kami telah mematahkan harapan saya tentang cinta. Dia orang yang terlalu apa adanya dan jauh dari romantis. Suatu hari, akhirnya saya memutuskan untuk mengatakan kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.

Mengapa?", dia bertanya dengan terkejut. "Saya lelah, kamu tak pernah mau mengerti keinginanku", jawab saya. Dia terdiam dan termenung sepanjang malam. Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang saya bisa harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, " Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiranmu?"

Seseorang berkata, mengubah kepribadian orang lain sangatlah sulit dan itu benar, saya pikir, saya mulai kehilangan kepercayaan bahwa saya bisa mengubah pribadinya. " Saya punya pertanyaan untukmu, jika kamu dapat menemukan jawabannya, saya akan merubah pikiran saya". Saya menatap matanya dalam2 dan berkata "Seandainya, saya menyukai setangkai bunga yang ada di tebing gunung curam dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untukku?" Dia terdiam cukup lama... dan berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok." Huuh...Hati saya jengkel sekali mendengar responnya.

Esok paginya, dia tak ada dirumah, dan saya melihat selembar kertas dengan coret-coretan tangannya di bawah sebuah gelas berisi susu hangat yang bertuliskan: "Istriku Sayang... 'AKU TIDAK MAU MENGAMBILKAN BUNGA ITU UNTUKMU', tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya." Ya TUHAN, jawaban-nya itu menghancurkan hati saya. Saya lanjutkan untuk membaca kembali :

"Kamu sering mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program di PC-nya dan akhirnya menangis didepan monitor, aku harus memberikan jari2-ku supaya saya bisa menolongmu untuk memperbaiki programnya. "

"Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan aku harus memberikan kakiku supaya bisa mendobrak rumah, membuka pintu untukmu. "

"Kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-2 baru yang kamu kunjungi, aku harus menjemputmu, atau memberikan mataku mengarahkanmu saat kamu menyetir mobil. "

"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu "teman baikmu" datang setiap bulannya, saya harus memberikan tanganku untuk memijat kakimu yang pegal. "

"Kamu senang diam didalam rumah, dan aku kuatir kamu akan jadi "aneh". Sehingga aku harus memberikan mulutku untuk ceritakan humor dan cerita-cerita untuk menyembuhkan kebosananmu. Serta mengajar banyak hal tentang berita2 perkembangan dunia, agar kamu bisa terus mengikutinya. "

"Kamu senang membaca banyak buku dan itu tak baik untuk kesehatan matamu, aku harus menjaga mataku agar saat kita tua nanti, aku masih dapat menolong menggunting kukumu dan mencabuti ubanmu, atau memegang tanganmu menelusuri pantai, menikmati sinar matahari dan pasir laut yang indah, menceritakan warna-warna bunga kepadamu yang bersinar indah seperti wajah cantikmu. "

"Sayangku, aku begitu yakin tak ada orang yang lebih mengenalmu selain diriku dan tak ada yang mencintaimu lebih dan aku mencintaimu. Aku ingin menjagamu dan bersamamu selalu. Karena itu, aku tak akan mengambil bunga itu lalu mati & tak bisa lagi bersamamu... aku ingin menemanimu seumur hidupku, hingga usai masa, hingga akhir segala sesuatu, percayalah...aku mengasihimu lebih dari yang kamu duga!"

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya, membuat tintanya menjadi kabur. Saya terlalu menuntutnya menjadi seorang yang bukan dirinya. Lalu, saya membaca kembali, "Dan sekarang sayangku, jika kamu telah selesai membaca jawabanku, jika kamu puas dgn semua jawaban ini, tolong bukakan pintu rumah kita, aku sekarang sedang berdiri disana dengan susu segar dan roti bakar kesukaanmu?"

Saya segera membuka pintu dan melihat wajahnya yang penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti. Oh, saya percaya, tidak ada org yang pernah mencintai saya seperti yang dia lakukan dan saya tahu harus melupakan "romantisme film2" itu sendiri. Saya berjanji takkan pernah lagi memaksanya memetik "bunga" itu, saya akan mencintai cintanya yang tulus, jujur dan apa adanya meski terlihat kurang romantis.

Itulah kehidupan, ketika seseorang dikelilingi cinta, kemudian perasaan itu mulai berangsur-angsur hilang dalam perkawinan, karena sering kita abaikan pengorbanan-pengorbanan kecil sehari-hari dan cinta sejati yang berada diantara kedamaian dan kesepian. Cinta menunjukkan berbagai macam bentuknya, bahkan dalam bentuk yang sederhana, sangat kecil dan dangkal, atau bahkan tak berbentuk dan bisa juga dalam bentuk yang tidak kita ingini. Bunga, Perhatian, Saat-saat yg Romantis, Sapaan lembut, dsb, hanyalah bentuk awal dari suatu hubungan jangka panjang. Diatas semuanya itu, Pilar Cinta Sejati berdiri kokoh justru melalui pengorbanan-pengorbanan kecil setiap hari, Pengorbanan2-pengorbanan sederhana yang jarang kita sadari dan hargai keberadaannya, namun sungguh bermakna.

Mengucap Syukurlah dalam Segala Hal....

Selasa, 28 Juli 2009

Aku menangis enam kali!

Aku dilahirkan di kota kecil. Orang tuaku hanya buruh kecil dengan pendapatan tak seberapa. Aku mempunyai seorang kakak lelaki, tiga tahun lebih tua dariku.

Tangisan pertama

Suatu ketika, sebuah jepit rambut mencuri perhatianku. Bentuknya manis dan lucu. Seperti yang dikenakan oleh teman-teman di sekolahku. Keinginan untuk memilikinya begtu kuat. Sehingga aku nekat mencuri uang ayahku sebesar lima ribu rupiah dari laci lemari pakaiannya, untuk segera membeli jepit rambut yang dijajakan itu. Tapi ayah mengetahui uangnya hilang. dengan sebilah rotan dia segera memanggil aku dan kakakku untuk mencari tahu siapa yang mencuri uangnya, "Siapa yang mencuri uang itu?"tanyanya.
Aku terpaku, karena terlalu takut untuk berbicara. Karena ayah tidak mendengar pengakuan dari kami, dia mengatakan: "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dihajar!"
Dia mengangkat tongkat rotan itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, kakakku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang mengambilnya!"

Tongkat rotan menghantam punggung kakakku bertubi-tubi. Ayah begitu marah sehingga ia terus menerus memukuli kakakku sampai kehabisan nafas. Sesudah itu, sambil duduk diatas bangku butut, ia kembali memarahi kakakku: "Kamu sudah jadi pencuri sekarang. Hal yang sangat memalukan. Bagaimana nanti jika di masa mendatang. Tentunya kau akan menjadi perampok! Tidak tahu malu!"

Malamnya, aku dan ibuku memeluk kakakku. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi dia tidak meneteskan air mata setetespun. Di tengah malam, aku mulai menangis, sejadi-jadinya. Tapi tangan kakakku segera menutup mulutku seraya berkata, "Sudahlah jangan menangis.Semuanya sudah terjadi."

Aku membenci diriku sendiri karena tidak cukup punya keberanian untuk mengakui perbuatanku. Tahun demi tahun telah berlalu, tapi insiden itu masih tergambar jelas. Aku tidak pernah lupa wajah kakakku ketika menghadapi hukuman itu untuk melindungiku. Waktu itu aku berusia 8 tahun dan kakakku 11 tahun.

Tangisan kedua
Ketika kakakku lulus dari SMA nya dan ia berniat untuk melanjutkan pendidikannya ke universitas. Begitupun aku yang lulus dari SMP dan berniat pula untuk melanjutkan ke SMA. Kami mendengar pembicaraan kedua orang tua kami :
"Kedua anak kita pendidikannya telah memberikan hasil yang baik", kata ayah.
"Tapi apa yang bisa kita lakukan? Kita tak bisa membiayaikeduanya sekaligus." timpal ibu.
"Akan aku coba mengusahakan agar kedua anak kita bisa melanjutkan sekolahnya."kata ayah.

Saat itu juga, kakakku menghampiri kedua orang tua kami dan berkata:
"Ayah, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi. Sepertinya aku telah cukup mendapatkan ilmu."
Tanpa dinyana ayah menampar kakakku, sambil berkata: "Mengapa kau mempunyai jiwa yang lemah?Aku akan berusaha untuk mencari uang untuk membiayai kau dan adikmu unruk tetap bersekolah. Jika aku perlu aku akan mengemis di jalanan. Anak laki-lakiku hatus meneruskan sekolah. Agar kita semua bisa keluar dari jurang kemiskinan ini."

Setelah melihat adegan tadi, diam-diam akupun memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahku. Sampai pada keesokan hari, aku tak mendapati kakaku di rumah. Rupanya dia pergi meninggalkan rumah dan dia meninggalkan secarik kertas bertuliskan: "Masuk ke perguruan tinggi tidak mudah dan tidak murah. Aku pergi mencari kerja dan akan mengirimi kau uang agar kau bisa terus sekolah."

Aku memegang kertas itu di atas tempat tidurku dan menangis dengan air mata bercucuran membasahi bantalku. Suaraku hilang. Waktu itu aku berusia 17 tahun dan kakakku 20 tahun.

Tangisan ketiga

Dengan uang bekal yang diberikan ayah dan kiriman dari kakakku yang sekarang bekerja di perusahaan konstruksi di kota besar. Akhirnya aku bisa kuliah di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Suatu hari, aku sedang belajar di kamar kostku., ketika temanku memberitahukan,
"Ada seorang penduduk desa menunggumu di luar sana!"

Mengapa ada penduduk desa mencariku?Siapa dia? Aku berjalan keluar kamar dan melihat seseorang yang berpakaian lusuh. Seluruh badannya kotor kotor penuh debu. setelah melihat lebih dekat, ternyata kakakku, "Mengapa kau tidak bilang pada temanku bahwa kau kakakku?"
Dia menjawab sambil tersenyum, " Lihat penampilanku. Apa yang mereka pikir jika mereka tahu aku adalah kakakmu? Pasti mereka akan menertawakanmu."

Aku terenyuh. Air mata memenuhi mataku. Aku segera menyapu debu-debu dari tubuh kakakku, dan berkata dengan tersendat-sendat,"Aku tidak peduli omongan siapapun!Kau adalah kakakku. apapun dan bagaimanapun penampilanmu."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku dan menjelaskan, "Aku melihat melihat semua gadis-gadis kota memakainya. Jadi aku pikir adikku harus memakainya juga." Aku tidak dapat menahan diriku lebih lama lagi. Aku memeluk kakakku lalu menangis dan menangis. Waktu itu aku berusia 21 tahun dan kakakku 24 tahun.

Tangisan keempat
Ketika musim liburan tiba, aku pulang ke rumah diantar oleh pacarku. Kulihat kakakku pun berada disana dengan tangan terbalut saputangan karena luka. Rumahku sekarang bersih sekali. Kaca jendela yang pecah yang terbengkalai sekian lama sudah kembali bagus. Ibu sudah bekerja keras untuk membenahi rumah ini untuk menyambut kepulangan kami, pikirku. Setelah memperkenalkan pacarku pada ibu dan kakakku. Ia harus kembali pulang ke kota. Aku ditinggal sendiri menghabiskan masa liburanku, "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk membersihkan rumah ini bagi kedatangan kami." Tetapi ibu menimpali sambil tersenyum, " Kakakmulah yang mengerjakan ini semua. Dia sengaja pulang lebih awal dari kamu. Untuk membersihkan rumah. Sampai tangannya terluka ketika memasang kaca jendela yang pecah itu. Tidakkah kau melihat luka yang ada pada tangan kakakmu?"

Aku segera menemui kakakku. Melihat wajahnya yang kurus segera aku mengambil perban dan tangan kakakku. Ku campakan sapu tangan yang membalut tangannya yang luka. Ku ambil salep antiseptik dan segera ku bungkus luka itu dengan perban.
"Apakah tanganmu tidak sakit?", tanyaku.
"Ah, tidak sakit. Ini tidak seberapa. Kamu tahu, di tempatku bekerja, batu-batu berjatuhan setiap saat. Bahkan pernah pada suatu ketika jatuh menimpa kakiku dan kepalaku.. Itu tidak menghentikanku bekerja dan......" Ia menghentikan bicaranya ketika dilihatnya aku memunggunginya dan air mataku deras mengalir ke wajahku. Dia berlalu seraya memegang kepalaku. Waktu itu usiaku 23 tahun dan kakakku 26 tahun.

Tangisan kelima
Akhirnya aku mendahului kakakku untuk menikah. dan aku tinggal di kota. Berulang kali aku dan suamiku mengajak kedua orang tuaku untuk tinggal bersamaku di kota, tetapi mereka menolak. Karena mereka tidak mau meninggalkan desa tempat hidup mereka. Kakakkupun juga tidak setuju. Ia berkata, " Jagalah mertuamu. Biar aku yang menjaga ibu dan ayah disini."

Suamiku menjadi Direktur di pabriknya. kami menginginkan kakakku mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai Manajer pada Departemen Pemeliharaan. Tetapi kakakku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras akan memulai usaha sendiri sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, kakakku mendapat kecelakaan ketika sedang memperbaiki rumah langganannya. Ia harus masuk rumah sakit. Aku bersama suamiku segera menjenguknya. Melihat tangan yang di gips, aku menggerutu, "Mengapa kau menolak menjadi manajer?Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, lukamu begitu serius. Mengapa kau tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan wajah serius, ia membela keputusannya, "Pikirkan suamimu, ia baru saja menjadi direktur, sedangkan aku hanya orang yang tidak berpendidikan. Jika aku menjadi manajer hanya karena aku kakak iparnya. Apa nanti kata orang?" Mataku dipenuhi airmata dan kemudian keluar kata-kataku yang terpatah-patah: "Kau kurang pendidikan juga karena aku!". Lalu kata kakakku :"Mengapa membicarakan yang sudah berlalu?". Waktu itu aku berusia 27 tahun dan kakakku 30 tahun.

Tangisan keenam
Kakakku menikah dengan gadis petani di desaku. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Bahkan tanpa berpikir panjang ia menjawab, "Adikku." Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan sudah tidak ku ingat lagi.
"Ketika sekolah dulu, biasanya setiap hari Senin selalu diadakan upacara bendera. Dan aku kebagian menjadi petugas upacara itu. Kami semua diwajibkan memakai seragam lengkap. Kemeja putih, celana merah topi merah, dasi merah, sepatu hitam dan kaos kaki putih. Jika tidak mengenakan seragam itu tentunya akan mendapat hukuman. Pada saat itu dasi yang kupunya hilang entah kemana. Dan pada saat itu pula adikku menyodorkan dasi kepunyaannya padaku, katanya aku lebih memerlukannya. Tapi rupanya kewajiban memakai seragam lengkap itu bukan untuk petugas upacara saja tetapi juga untuk seluruh peserta upacara. Dan adikku tahu akan hal ini. Adikku mendapat hukuman dari sekolah karena ia tidak memakai dasi sebagai bagian dari seragam sekolah. Ku lihat dia di hukum dengan dijemur di tengah lapangan sendirian. Dia begitu kelelahan dan dia tidak menangis. Sejak hari itu, aku berjanji, selama aku masih hidup aku akan menjaga adikku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah keluar dari mulutku,
"Dalam hidupku, orang yang paling layak mendapat terima kasihku adalah kakakku!".Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini,di depan kerumunan perayaan ini air mata bercucuran dari mataku seperti sungai.Waktu itu usiaku 30 tahun dan usia kakakku 33 tahun.

dari Bahana,2006